08
Oktober 2014
Dear Allah, Dear Jahor,
Dear Diary,
Ternyata aku masih
belum bisa menjadi seorang Muslim yang baik. Selepas Isya, aku diminta Mamah
untuk pergi ke rumah warga yang diamanahi desa untuk mengurusi pengadaan beras
miskin (raskin). Sesampainya di sana, aku lega karena dari sisi jendela samping
yang sedikit terbuka, aku bisa melihat plastik-plastik yang pernah aku lihat
saat terakhir kali mengambil beras. Tapi begitu kuketuk pintu yang memang telah
sedikit terbuka dan kuucapkan salam, pintu tersebut hanya bergeser sekitar satu
sentimeter dan seraut wajah muncul. Tahu apa yang dikatakannya? Kalimat menyakitkan
yang membuatku menangis, mengucap serapah, dan membanting pintu saat kembali ke
rumah.
Allah, Jahor, Dairy,
Dia bilang begini:
“Besok wae, besok.
Nembe ge dongkap sonten”
Kalo dilihat dengan bahasa
tulisan, memang tidak terdengar kasar, tapi jika pembaca mengalaminya sendiri,
tentu akan merasakan hal yang sama denganku. Entah aku yang terlalu perasa,
ataukah memang kalimatnya yang diucapkan dengan nada tinggi, kalimat tersebut
sangat menusuk-nusuk hatiku. Membuatku sulit bernapas, menelan ludah, dan
(pastinya) nahan tangis. Mungkin ini salah satu akibat dari seorang penyandang
‘gelar’ Orang Miskin.
Tapi Allah, Jahor, dan
Diary,
Kalian tahu, sekarang
aku sudah tidak menangis lagi. Aku pun tidak serius mengucapkan sumpah serapah
tersebut. Aku benar-benar menariknya kembali sambil mengucap istighfar. Karena setiap do’a dan
perkataan buruk, akan kembali kepada pengucapnya, bukan? Ssst, sebenarnya aku
juga tidak benar-benar membanting pintu. Angin di malam gerhana bulan kali ini
memang sedang benar-benar ganas. Sedikit dorongan saja bisa membuat pintu
terbuka dan terbanting dengan keras.
DO’A
INTAN
Gigi Intan
bergemeletuk.
“Semoga terbakar rumah
kalian”, bisiknya penuh amarah.
Indah menggenggam
tangan Intan, berusaha meredam kemarahan sahabatnya itu.
“Ternyata aku masih
belum bisa menjadi Muslim yang baik, Ndah”, ujar Intan begitu turun dari motor.
Indah menepuk pundak
sahabatnya.
“Istighfar dan wudhu, Ntan.
Insha Allah, amarahmu akan hilang”, sarannya.
Intan mengangguk
perlahan.
“Makasih ya, Ndah, udah
nganterin .....”
Indah tersenyum lalu
berpamitan.
Intan mendesah sebelum
akhirnya masuk ke rumah. Orang rumah telah tertidur. Direbahkannya badan sambil
mengingat kembali peristiwa tadi. Selepas Isya, Intan pergi ke rumah Kadus
(Kepala Dusun) untuk mengambil jatah raskin. Tanpa sengaja, Intan berpapasan
dengan Indah yang kemudian memaksanya agar mau diantar.
Sesampainya di sana,
Intan mengetuk pintu. Pintu bergeser sekitar satu sentimeter disusul munculnya seraut
wajah.
“BESOK SAJA, BESOK. BARU JUGA DATANG!!!”
Indah yang menunggu di
motor, terkejut mendengar bentakan dari dalam rumah. Ia pun menghampiri Intan.
Meski remang-remang, ia bisa melihat mendung dan memerahnya wajah Intan.
***
Indah terbangun pukul
21.45. Baru satu jam ia tertidur. Matanya yang masih terasa berat,
dibelalakkannya. Orangtuanya telah berada di luar rumah sehingga tidak ada yang
bisa ia tanyai. Ia pun ikut keluar. Melihat kondisi rumah yang belum lama
dikunjunginya, Indah ternganga. Kobaran api yang meliuk-liuk diterpa angin
serta orang-orang yang hiruk-pikuk berusaha memadamkannya, mengingatkan ia pada
Intan. Ia berpaling dari keramaian dan menuju rumah Intan. Selama dalam perjalanan,
pikirannya kalut. Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa apa yang menimpa rumah
Bu Kadus, benar-benar sesuai dengan do’a Intan. Bahkan secepat itu.
“AstaghfirUllahul’adzim, InnalIllahi wa inna Ilaihi roji’un . . .”,
ucap Intan setelah mendengar apa yang menimpa rumah Kadus dari mulut Indah.
Dalam hati, mereka berjanji untuk lebih menjaga ucapan dan tidak terburu nafsu
dengan mendo’akan keburukan bagi orang lain. Karena tidak ada hijab/penghalang
antara do’a orang yang didzalimi dengan Allah. Mereka pun turut merasakan
kesedihan Bu Kadus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar