Jumat, 12 Juni 2015

DO'A INTAN



08 Oktober 2014
Dear Allah, Dear Jahor, Dear Diary,
Ternyata aku masih belum bisa menjadi seorang Muslim yang baik. Selepas Isya, aku diminta Mamah untuk pergi ke rumah warga yang diamanahi desa untuk mengurusi pengadaan beras miskin (raskin). Sesampainya di sana, aku lega karena dari sisi jendela samping yang sedikit terbuka, aku bisa melihat plastik-plastik yang pernah aku lihat saat terakhir kali mengambil beras. Tapi begitu kuketuk pintu yang memang telah sedikit terbuka dan kuucapkan salam, pintu tersebut hanya bergeser sekitar satu sentimeter dan seraut wajah muncul. Tahu apa yang dikatakannya? Kalimat menyakitkan yang membuatku menangis, mengucap serapah, dan membanting pintu saat kembali ke rumah.

Allah, Jahor, Dairy,
Dia bilang begini:
“Besok wae, besok. Nembe ge dongkap sonten”
Kalo dilihat dengan bahasa tulisan, memang tidak terdengar kasar, tapi jika pembaca mengalaminya sendiri, tentu akan merasakan hal yang sama denganku. Entah aku yang terlalu perasa, ataukah memang kalimatnya yang diucapkan dengan nada tinggi, kalimat tersebut sangat menusuk-nusuk hatiku. Membuatku sulit bernapas, menelan ludah, dan (pastinya) nahan tangis. Mungkin ini salah satu akibat dari seorang penyandang ‘gelar’ Orang Miskin.

Tapi Allah, Jahor, dan Diary,
Kalian tahu, sekarang aku sudah tidak menangis lagi. Aku pun tidak serius mengucapkan sumpah serapah tersebut. Aku benar-benar menariknya kembali sambil mengucap istighfar. Karena setiap do’a dan perkataan buruk, akan kembali kepada pengucapnya, bukan? Ssst, sebenarnya aku juga tidak benar-benar membanting pintu. Angin di malam gerhana bulan kali ini memang sedang benar-benar ganas. Sedikit dorongan saja bisa membuat pintu terbuka dan terbanting dengan keras.




DO’A INTAN

Gigi Intan bergemeletuk.
“Semoga terbakar rumah kalian”, bisiknya penuh amarah.
Indah menggenggam tangan Intan, berusaha meredam kemarahan sahabatnya itu.
“Ternyata aku masih belum bisa menjadi Muslim yang baik, Ndah”, ujar Intan begitu turun dari motor.
Indah menepuk pundak sahabatnya.
Istighfar dan wudhu, Ntan. Insha Allah, amarahmu akan hilang”, sarannya.
Intan mengangguk perlahan.
“Makasih ya, Ndah, udah nganterin .....”
Indah tersenyum lalu berpamitan.
Intan mendesah sebelum akhirnya masuk ke rumah. Orang rumah telah tertidur. Direbahkannya badan sambil mengingat kembali peristiwa tadi. Selepas Isya, Intan pergi ke rumah Kadus (Kepala Dusun) untuk mengambil jatah raskin. Tanpa sengaja, Intan berpapasan dengan Indah yang kemudian memaksanya agar mau diantar.
Sesampainya di sana, Intan mengetuk pintu. Pintu bergeser sekitar satu sentimeter disusul munculnya seraut wajah.
 “BESOK SAJA, BESOK. BARU JUGA DATANG!!!”
Indah yang menunggu di motor, terkejut mendengar bentakan dari dalam rumah. Ia pun menghampiri Intan. Meski remang-remang, ia bisa melihat mendung dan memerahnya wajah Intan.
***
Indah terbangun pukul 21.45. Baru satu jam ia tertidur. Matanya yang masih terasa berat, dibelalakkannya. Orangtuanya telah berada di luar rumah sehingga tidak ada yang bisa ia tanyai. Ia pun ikut keluar. Melihat kondisi rumah yang belum lama dikunjunginya, Indah ternganga. Kobaran api yang meliuk-liuk diterpa angin serta orang-orang yang hiruk-pikuk berusaha memadamkannya, mengingatkan ia pada Intan. Ia berpaling dari keramaian dan menuju rumah Intan. Selama dalam perjalanan, pikirannya kalut. Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa apa yang menimpa rumah Bu Kadus, benar-benar sesuai dengan do’a Intan. Bahkan secepat itu.
AstaghfirUllahul’adzim, InnalIllahi wa inna Ilaihi roji’un . . .”, ucap Intan setelah mendengar apa yang menimpa rumah Kadus dari mulut Indah. Dalam hati, mereka berjanji untuk lebih menjaga ucapan dan tidak terburu nafsu dengan mendo’akan keburukan bagi orang lain. Karena tidak ada hijab/penghalang antara do’a orang yang didzalimi dengan Allah. Mereka pun turut merasakan kesedihan Bu Kadus.